BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Komunikasi
antar kelompok masyarakat di kota Bandar Lampung biasanya memakai bahasa
Indonesia, bahasa Lampung, dan bahasa Jawa bagi mereka yang sudah akrab. Di
sini terlihat bahwa kebutuhan masyarakat dalam menguasai bahasa Indonesia
merupakan halyang tidak bisa dielakkan. Kalau mereka hanya bisa menguasai
bahasa Jawa saja, mereka akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan
orang-orang yang tidak bisa berbahasa Jawa. Kejadian inilah yang membuat bahasa
Indonesia berkembang lebih pesat dalam hal fungsi dan kedudukannya. Kalau pada
awalnya bahasa Indonesia hanya dipergunakan dalam peristiwa yang sifatnya resmi
saja, sekarang ini bahasa Indonesia telah dipakai untuk berkomunikasi
sehari-hari di rumah. Di pasar, dan di tempat-tempat umum yang sifatnya tidak
resmi.
Jika
kembali dicermati bahasa Indonesia yang dipakai untuk berkomunikasi di
tempat-tempat umum yang sifatnya tidak resmi, terlepas dari ada tidaknya
perbedaan jenjang pendidikan yang pernah dicapai oleh para penutur bahasa,
dapat ditarik suatu simpulan awal bahwa bahas Indonesia tersebut akan berbeda
dengan bahasa Indonesia yang digunakan dalam suasana resmi seperti di kantor,
di sekolah, dan di tempat resmi lainnya. Bahasa Indonesia yang digunakan di
tempat-tempat umum itu cenderung terkesan sebagai bahasa Indonesia kedaerahan
dan beragam santai. Artinya, mereka memakai bahasa Indonesia dengan dialek
mereka masing-masing. Misalnya bahasa Indonesia dialek Jawa, bahasa Indonesia
dialek Lampung. Namun demikian, diantara penutur dengan dialek yang berbeda itu
bisa saling mengerti apabila saling berkomunikasi. Berkaitan dengan bahasa
sebagai alat komunikasi, seseorang disamping perlu berkomunikasi dengan sesama
anggota masyarakat bahasa sekitarnya, mereka perlu juga berkomunikasi
dengan anggota masyarakat lain dari
daerah lain, guna memenuhu kebutuhan hidup. Dalam kepentingan komunikasi
tersebut, bahasa Indonesialah yang paling tepat sebagai sarana penghubung
(dalam komunikasi) antaretnik yang ada.
Tingkat
penguasaan bahasa Indonesia antara orang yang satu dan orang yang lain
berbeda-beda karena memperoleh bahasa Indonesia atau bahasa kedua pada mereka
tidak sama. Di antaranya ada yang betul-betul belajar menguasai bahasa
Indonesia secara tepat, antara lain melalui lembaga pendidikan, tetapi banyak
juga dari mereka yang menggunakan bahasa Indonesia dengan mengabaikan kaidah
pemakaian bahasa yang ada. Psar Tamin merupakan gambaran yang tepat untuk
menyatakan situasi yang heterogen. Di tempat itu pula masyarakat darihampir
seluruh dari pelosok kota Bandar Lampung dan daerah-daerah luar kota Bandar
Lampung berkumpul untuk mengadakan transaksi jual beli baik dalam skala besar,
menengah maupun kecil. Mereka datang dari latar belakang budaya dan bahasa yang
berlainan, sehingga komunikasi yang terajdipun menggunakan bahasa yang
“gado-gado”. Sesekali mereka menggunakan bahasa Indonesia, kemudian bahasa
Jawa, bahasa campuran antara bahas Indonesia dengan bahasa Jawa, dan
sebagainya.
Pasar
Tamin merupakan salah satu pasar tradisional di Bandar Lampung memiliki
identitas yang tinggi. Akibatnya interaksi antara pedangan atau penjual dan
pembeli sangat intens dan kompleks. Kekomplekan interaksi pun terjadi tercermin
dalam hal pemilihan dan penggunaan bahasa yang tak hanya satu bahasa atau
ragam. Akibat lebih jauh digunakannya lebih dari satu bahasa atau ragam adalah
munculnya fenomena alih kode dan campur kode dalam tuturan pedagang dan
pembeli.
Alih
kode yang terjadi pada transksi tersebut dapat dilihat berdasarkan arahnya.
Dari sudut arah, alih kode dapat berupa bahas Indonesia ke bahasa Jawa atau
sebaliknya. Selanjutnya dari sudut bentuk campur kode dapat berupa klausa atau
kalimat, frasa atau kata. Pada gejala alih kode dari segi bentuk dapat terajadi
alih bahasa atau ke alih ragam. Bisa juga terjadi dari alih ragam ke alih
bahasa.
Peneilitan
ini menempatkan pada salah satu ranah yaitu ranah transaksi. Dipilihnya ranah
karena transaksi terjadinya pertemuan dan kontak antara masyarakat tutur dengan
segala lapisan dan golongan. Ranah transaksi sebagai ranah atau domain yang
didalamnya terjadi peristiwa transaksi jual beli barang dan jasa, khususnya
peristiwa tawar menawar antara penjual dan pembeli (Sumarsono 1993 : 227-208).
Dengan
mengacu kepada batasan di atas, dapatlah dkatakan bahwa transaksi dapat
dibatasi sebagai persistiwa atau kegiatan jual-beli barang dan jasa, khususnya
yang menyangkut aktivitas tawar-menawar. Luasnya jangka tawar-menawar barang
dan jasa dalam peristiwa transaksi dengan segala permasalahannya tidak
dibicarakan dalam tulisan ini secara tuntas, khususnya segi kebahasannya
(Rahadi 1996: 8). Oleh karenanya, kegiatan tawar-menawar dalam tulisan ini
dibatasi pada kegiatan tawar-menawar dalam jual beli yang terjadi di pasar
Tamin. Dengan demikian batasan pembicaraan tentang alih kode dan campur kode
dalam penelitian ini adalah pada wacana jual-beli di pasar Tamin, dipilihnya
lokasi itu karena di situlah peristiwa tawar-menawar dalam transaksi jual-beli
masih terjadi.
1.2
Rumusan
Masalah
Sesuai
dengan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Alih
kode apa saja yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin?
b. Campur
kode apa saja yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin?
c. Faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan timbulnya alih kode dan campur kode di dalam wacana
interaksi pedagang Pasar Tamin?
d. Fungsi
apa saja yang diperankan oleh alih kode dan campur kode di dalam wacana
interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung?
1.3
Tujuan
Penelitian
Sesuai
dengan masalahnya, penelitian ini bertujuan memaparkan:
a. Alih
kode yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar
Lampung.
b. Campur
kode yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar
Lampung.
c. Faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya alih kode dan campur kode di dalam wacana interaksi
pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung.
d. Fungsi
alih kode dan campur kode di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar
Lampung.
1.4
Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis
dalam perkembangan linguistik umumnya dan sosiolinguistik khususnya.
a. Manfaat
Teoretis
Secara teoretis
penelitisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk membantu
menjelaskan aspek bahasa yang tidak dapat dikaji lewat deskripsi sintaksis,
morfologi, fonologi, dan semantik. Selain itu hasil penelitian ini dapat
memperkaya khazanah ilmu bahasa khususnya bidang sosiolinguistik.
b. Manfaat
Praktis
Penelitian ini juga
diharapkan dapat bermanfaat bagi pemakai bahasa, dalam menggunakan kode-kode
bahasa, sehingga dalam berkomunikasi akan lebih komunikatif, serta dapat
meningkatkan pemahaman seseorang pada suatu permasalahan.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
Landasan
Teori
Pada penelitian ini,
teori yang dijadikan sebagai dasar meliputi konsep-konsep tentang (1)
Soiolinguistik, (2) Kedwibahasaan, (3) Peristiwa tutur, (4) Alih kode, (5)
Campur kode.
1. Soiolinguistik
Sosiolinguistik
merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu
empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk mengetahui pengertian
sosiolinguistik harus memahami makna sosiologi dan linguistik.
Sosiologi
adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat,
dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat.
Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang antardisiplin
yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam
masyarakat.
Ada
beberapa pendapat ahli mengenai sosiolinguistik, diantaranya:
Kridalaksana
(1978: 2), menyatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari ciri dan pelbagai
variasi bahasa, serta hubungan di antara
para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.
J.A.
Fishman (1972: 4), menyatakan sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas
variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakaian bahasa karena
ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama
lain dalam satu masyarakat tutur.
2. Kedawibahasaan
Istilah
kedwibahasaan secara harfiah berarti penggunaan dua bahasa atau dua kode
bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian (Mackey 1962: 12, Fishman 1975: 75). Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa agar dapat menggunakan dua bahasa, seseorang harus
menguasai bahasa itu. Pertama, seseorang harus menguasai bahasa ibunya
(disngkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya
(disingkat B2).
Bloomfield
dalam bukunya yang terkenal Language
(1933: 56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahsa dengan sama baiknya. Namun pendapat dari ahli lain, yakni
Haugen (1961) dwibahasawan tahu akan dua bahasa atau lebih, dan seorang
dwibahasawan tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, cukup kalau
dapat memahaminya.
Kedwibahasaann
adalah peristiwa pemakaian dua atau lebih bahasa secara bergantian oleh seorang
penutur. Sedangkan individu yang melakukan penuturan dengan memakai dua bahasa
atau lebih disebut dwibahasawan. Sedangkan pada proses pemerolehannya disebut
dengan pendwibahsawan.
3. Peristiwa
Tutur
Peristiwa
tutur adalah berlangsungnya atau terjadi interaksi linguistik dalam suatu
ujuaran atau lebih, yang melibattkan dua pihak yakni penutur dan mitra tutur
dengan satubpokok tuturan dlam waktu, empat, dan situasi tertentu ( Chaer dan
Agustins, 2010: 47). Dalam peristiwa tutur Hymes memaparkan komponen tuutur
sebagai penentu pemakaian ragam bahasa.
Komponen
tutur memiliki kaitan dengan sosiolinguistik, yakni berkenaan dengan siapa
berbicara dalam bahasa apa, kepada siapa, tentang apa seperti ulasan berikut.
Komponen tutur Hymes memiliki akronim SPEAKING, Yakni (1) Setting and Scene, yang berarti segalahal yang berkenaan dengan
waktu dan tempat tutur berlangsung. (2) Participants
adalah pihak-pihak yang terlibat dalam peraturan, bisa pembicara dan pendengar,
penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. (3) Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. (4) Act Sequence, mengacu pada bentuk ujaran
dan isi ujaran. (5) Key, mengacu pada
nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan. (6) Instrumentalities, mengacu pada jalur
bahasa yang digunakan, seperti jalurr lisan, tertulis, melalui telegram dan
telfon. (7) Norm of Intercation and
Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi. (8) Genre, mengacu pada jenis bentuk
penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya. (Chaer dan
Agustina, (2010: 48-49).
4. Alih
Kode
Pada
dasarnya alih kode merupakan penggantian kode yang berupa bahasa atau ragam
bahasa dari kode yang satu ke kode yang lain pada waktu seseorang bertutur.
Menurut Kridalaksana (1984), pengertian penggantian yang dimaksudkan untuk
menyesuaikan diri dengan peran serta situasi lain. Dalam kenyataan sehari-hari,
ternyata bahwa ragam bahasa lebih cenderung memakai alih kode, hal ini
disebabkanoleh faktor kemudahan dalam mendeskripsi suatu peristwia tutur dengan
menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa tutur.
5. Campur
Kode
Di
dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan
timbal balik antara peranan dan fungsi kebahsaan. Peranan maksudnya yang
menggunakan bahasa tersebut, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang
hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Seorang penutur yang banyak
menguasai bahasa akan mempunyai kesempatan kode lebih banyak daripada penutur
yang hanya menguasai satu atau dua bahasa saja. Tetapi tidak berarti bahwa
penutur yang menguasai lebih banyak bahasa selalu banyak bercampur kode. Sebab
yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan
kebahasaannya.
Ciri-ciri
yang lain adanya gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau
variasi-variasinya yang menyisip didalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya
dan secara keseluruhan hanya menduduki satu fungsi.
Beberapa
ahli sosiolinguistik yang memberi batasan campur kode antara lain (Swito 1985:
76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan
saling memasukkan unsur-unsur bahasa yanf satu ke dalam bahasa yang lain secara
konsisten.
Nababan
(1984: 32) menyatakan bahwa campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua
atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu
dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Adapun ciri yang
menonjol dalam campuran kode ini adalah kesantaian atau situasi informal.
Misalnya ada seorang penutur yang dalam pemakaian bahas Indonesia banyak disipi
unsur-unsur bahasa Jawa/daerah atau sebaliknya bahasa daerah yang disisipkan
pada bahasa Indonesia. Maka seorang penutur tersebut bercampur kode ke dalam
peristiwa tersebut, sehingga akan menimbulkan apa yang disebut bahasa Indonesia
yang kedaerah-daerahan atau ke Jawa-Jawaan.
Campur
kode memiliki dua tipe yaitu, campur kode kedalam (inner code mixing) dan campur kode luar (Outer code mixing) (Suwito, 1985: 76). Campur kode kedalam adalah
campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari
bahasa asli dengan segala variasinya. Campur kode keluar adalah campur kode
yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asing.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif, dengan maksud untuk memberikan hasil analisis data
mengenai bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi jual-beli
pedagang etnis Jawa. Pemerian tersebut didasarkan pada data yang diperoleh
meskipun tetap melibatkan interprestasi terhadap konteks yang tersurat dan
tersirat dalam data. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
sosiolinguistik. Karakteristik sosiolinguistik meliputi adanya variasi bahasa,
komunikasi bahasa dan masyarakat, serta bahasa dan masyarakat, serta budaya dan
bahasa. Pendekatan penelitian ini menitik beratkan pada kajian sosial yang
mengungkapkan bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi jual-beli
pedagang etnis Jawa. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, mengutip pendapat Muhadjir (1996: 29) mengisyaratkan jika data
penelitian berupa kualitas bentuk-bentuk verbal yang berwujud tuturan. Tuturan
yang menjadi data penelitian ini terealisasi di dalam wacana interaksi
jual-beli etnis Jawa.
3.2 Data dan Sumber Data
Sasaran penelitian adalah wacana
interaksi jual-beli pedagang etnis Jawa, yang diduga terdapat unsur alih kode
dan campur kode yang terkandung di dalamnya berwujud wacana yang digunakan
dalam tuturan interaksi jual-beli pedagang di Pasar Tamin Bandar Lampung.
Korpus data berupa wacana antara lain: Wacana interaksi jual-beli buah-buahan.
Sumber data dalam penelitian ini yaitu
wacana interaksi jual-beli di Pasar Tamin Bandar Lampung dengan judul
berbeda-beda, hal ini dimaksudkan supaya terdapat uraian kebahasaan yang lebih
lengkap dan cukup mewakili semua tuturan tersebut yang terdapat dalam alih kode
dan campur kode. Korpus data berupa tuturan antara lain:
a.
Tuturan bahasa
Jawa-bahasa Indonesia
b.
Tuturan bahasa
Indonesia-bahasa Jawa
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini peneliti kumpulkan dengan teknik
rekaman yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan penelitian dengan cara
merekam data lingual pedagang di Pasar Tamin Bandar Laampung, ke dalam perekam suara. Pelaksanaan teknik ini adalah
dengan cara memutar ulang hasil rekaman untuk ditranskripsikan, selain
menggunakan teknik tersebut penulis menggunakan teknik observasi atau
pengamatam, biasanya cenderung dimasukkan ke dalam tahap penjajagan atau tahap
invensi (Meleong 1994: 65). Tahap penjajagan ini perlu dilakukan sebelum tahap
pengambilan data. Hal ini terjadi karena pada dasarnya penelitian deskripsi
baru dapat dilakukan jika populasi sudah dikenal sifat-sifatnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Bentuk
Alih Kode
Pada hasil penelitian ditemukan alih kode pada tuturan interaksi
jual-beli dengan pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung berikut. Konteks: Dua
orang mahasiswa ingin membeli buah mangga di pasar. Sang pemuda tertarik pada
salah satu jenis buah mangga, namun menginginkan buah mangga yang kecil. Maka
sang mahasiswa bertanya pada pedagang adakah jenis buah mangga lain.
Kutipan 1
Erik :
Mas eneng pelem orak?
Penjual :
Enek pelem opo mas?
Ferli : Iki pelem opo wae?
Penjual :
Iki pelem arumanis mas
Erik :
Iki fer, adanya mangga arumanis, ini jadi berapa?
Ferli :
Iki piroan mas
Penjual :
Nak seng cilik 10 ewu, nak seng gede 12 ½ rb mas
Erik :
Jadi kita mau beli yang mana, nih fer?
Ferli :
Kalo seng cilik iku piro mas entok’e nak sekilo
Penjual :
Nak seng cilik intok 3, nak seng gede 2
Erik :
Yowes mas seng cilik wae
Penjual :
Arep piro mas?
Ferli :
Sekilo wae
Penjual :
Yo-yo.
Dari percakapan di atas
dapat dilihat bahwa ahli kode yang ada adalah dari bahsa Jawa ke dalam
bahasaIndonesia yang dilakukan oleh penjual. Dari sejak awal penjual
menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur yang bervariasi dan diwarnai pula
dengan adanya beberapa alih tingkat tutur. Alih kode ke dalam bahasa Indonesia
itu dilakukan oleh penjual dengan alasan tertentu. Dengan demikian arah alih
kode dalam percakapan itu adalah dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Jawa. Alih
kode yang terjadi di Pasar Tamin adalah peralihan bahasa Jawa ke dalam
penggunaan bahasa Indonesia pada saat penjual-pembeli melakukan transaksi. Pada
percakapan di atas memberikan informasi tentang kenaikan harga buah yang beda
dari biasanya.
4.2
Bentuk
Campur Kode
Wujud campur kode
adalah penggunaan frasa yang menunjukkan bilangan atau angka yakni “lima belas
ribu” dimana penjual memberikan informasi tentang jumlah barang yang akan
dibeli. Campur kode yang terjadi pada pedagang buah-buahan, cuplikan data dan
pembahasannya dikemukakan sebagai berikut:
Erik :
Mas ini mangga berapaan?
Penjual : Ini yang besar 15 rb, yang
kecil-kecil 12 rb dek.
Ferli : Gak bisa kurang tah mas?
Penjual :
Bisa Cuma dikit aja gak banyak-banyak
Ferli :
Sekilo itu berapa mas isinya
Penjual :
Kalau yang kurangin ini iya, dikurangi kalo yang besar 13 lah, 13
jekoken.
Erik :
Ouw, 13
Penjual :
Iya
Erik :
Gak isoh kurang meneh tah mas
Ferli :
Pirolah entok’e 4
Penjual : Yo kurang-kurang sewulah dadine yo
12 rapopo
Erik :
Yaudahlah mas beli sekilo aja mas
Penjual :
Yaudah yang besar atau yang kecil
Erik :
Yang kecil aja
Penjual : Ouw, yaudah sekiloan
Ferli :
Iya, mas
Penjual :
Yaudah ditimbang dulu
Erik :
Yowes, suwon yo mas yo
Penjual : Yo, podo-podo.
Dalam percakapan
kegiatan transaksi jual beli di pedagang buah-buahan di atas juga terjadi
peralihan penggunaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Wujud campur kode
yang digunakan yaitu pada kelompok frasa adjektiva-bilangan.
4.3
Faktor-Faktor
Terjadinya Alih Kode
Konteks: Dua orang
mahasiswa ingin membeli buah mangga di pasar. Sang pemuda tertarik pada salah
satu jenis buah mangga, namun menginginkan buah mangga yang kecil. Maka sang
mahasiswa bertanya pada pedagang adakah jenis buah mangga lain.
Kutipan 1
Erik :
Mas eneng pelem orak?
Penjual :
Enek pelem opo mas?
Ferli :
Iki pelem opo wae?
Penjual :
Iki pelem arumanis mas
Erik :
Iki fer, adanya mangga arumanis, ini jadi berapa?
Ferli :
Iki piroan mas
Penjual : Nak seng cilik 10 ewu, nak seng
gede 12 ½ rb mas
Erik :
Jadi kita mau beli yang mana, nih fer?
Ferli :
Kalo seng cilik iku piro mas entok’e nak sekilo
Penjual :
Nak seng cilik intok 3, nak seng gede 2
Erik :
Yowes mas seng cilik wae
Penjual : Arep piro mas?
Ferli :
Sekilo wae
Penjual :
Yo-yo.
Percakapan di atas tampak adanya alih
kode yang dilakukan oleh penjual dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Alih
kode tersebut terjadi ketika sang penjual berbicara pada peayannya. Pembeli
menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan pelanggan karena ingin
menghormati penjaul, sedangkan penjual menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara
dengan pelayannya karena status sosialnya lebih rendah dari penjual.
4.4 Faktor
Terjadinya Campur Kode
Berdasarkan hasil pemapaparan subab
bentuk campur kode dan alih kode peneliti dapat menyimpulkan faktor terjadinya
campur kode adalah faktorinternal yakni seseorang meminjam kata dari bahasa
lain karena dorongan yang ada dalam dirinya. Penutur menggunakan kata dari
bahasa lain karena kata itu sudah sangat sering digunakan dan mudah diterima.
Ferli (Pembeli) : “ Gak bisa kurang tah
mas?”
Pada kutipan ujaran di
atas terdapat sisipan kata “tah” dari bahasa Lampung. Kata “tah” berarti Iya,
namun penutur tidakmenggunakan kata “iya” karena dianggap terlalu formal.
BAB V
PENUTUP
5.1
Simpulan
Sejalan
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah di sampaikan di bagian
depan serta uraian yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, dapat
dikemukakan simpulan sebagai berikut:
Dalam
proses transaksi dan komunikasi di Pasar Tamin Bandar Lampung terjadi dua
penggunaan alih kode dan campur kode. Wujud alih kode terjadi adalah peralihan
penggunaan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Begitu juga dengan campur kode,
penggunaan kode yang berasal dari bahasa Indonesia seringkali digunakan pembeli
yang sebelumnya menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya. Adapun faktor-faktor penentu yang
mempengaruhi terjadinya alih kode dan campur kode adalah penutur, mitratutur, kehadiran
penutur ketiga, latar belakang pendidikan, situasi kebahasan, dan tujuan
pembicaraan. Peristiwa yang tampak ketika terjadinya alih kode dan campur kode
adalah pada saat penjual dan pembeli memberikan respon satu sama lain,
menjelaskan maksud dari tuturan masing-masing, dan memberikan penekanan atau
penegasaan pada tuturan yang di ucapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul dan leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Nababan,
P.W.J. 1993. Sosisolinguistik Pengantar
Awal. Jakarta: Gramedia
Kunjana
Rahardi, R. 2001. Sosiolinguistik, Kode,
dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
No comments:
Post a Comment