Saturday, 31 March 2018

KAPITA SELEKTA BAHASA SASTRA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
Komunikasi antar kelompok masyarakat di kota Bandar Lampung biasanya memakai bahasa Indonesia, bahasa Lampung, dan bahasa Jawa bagi mereka yang sudah akrab. Di sini terlihat bahwa kebutuhan masyarakat dalam menguasai bahasa Indonesia merupakan halyang tidak bisa dielakkan. Kalau mereka hanya bisa menguasai bahasa Jawa saja, mereka akan merasa kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak bisa berbahasa Jawa. Kejadian inilah yang membuat bahasa Indonesia berkembang lebih pesat dalam hal fungsi dan kedudukannya. Kalau pada awalnya bahasa Indonesia hanya dipergunakan dalam peristiwa yang sifatnya resmi saja, sekarang ini bahasa Indonesia telah dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari di rumah. Di pasar, dan di tempat-tempat umum yang sifatnya tidak resmi.
Jika kembali dicermati bahasa Indonesia yang dipakai untuk berkomunikasi di tempat-tempat umum yang sifatnya tidak resmi, terlepas dari ada tidaknya perbedaan jenjang pendidikan yang pernah dicapai oleh para penutur bahasa, dapat ditarik suatu simpulan awal bahwa bahas Indonesia tersebut akan berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan dalam suasana resmi seperti di kantor, di sekolah, dan di tempat resmi lainnya. Bahasa Indonesia yang digunakan di tempat-tempat umum itu cenderung terkesan sebagai bahasa Indonesia kedaerahan dan beragam santai. Artinya, mereka memakai bahasa Indonesia dengan dialek mereka masing-masing. Misalnya bahasa Indonesia dialek Jawa, bahasa Indonesia dialek Lampung. Namun demikian, diantara penutur dengan dialek yang berbeda itu bisa saling mengerti apabila saling berkomunikasi. Berkaitan dengan bahasa sebagai alat komunikasi, seseorang disamping perlu berkomunikasi dengan sesama anggota masyarakat bahasa sekitarnya, mereka perlu juga berkomunikasi dengan  anggota masyarakat lain dari daerah lain, guna memenuhu kebutuhan hidup. Dalam kepentingan komunikasi tersebut, bahasa Indonesialah yang paling tepat sebagai sarana penghubung (dalam komunikasi) antaretnik yang ada.
Tingkat penguasaan bahasa Indonesia antara orang yang satu dan orang yang lain berbeda-beda karena memperoleh bahasa Indonesia atau bahasa kedua pada mereka tidak sama. Di antaranya ada yang betul-betul belajar menguasai bahasa Indonesia secara tepat, antara lain melalui lembaga pendidikan, tetapi banyak juga dari mereka yang menggunakan bahasa Indonesia dengan mengabaikan kaidah pemakaian bahasa yang ada. Psar Tamin merupakan gambaran yang tepat untuk menyatakan situasi yang heterogen. Di tempat itu pula masyarakat darihampir seluruh dari pelosok kota Bandar Lampung dan daerah-daerah luar kota Bandar Lampung berkumpul untuk mengadakan transaksi jual beli baik dalam skala besar, menengah maupun kecil. Mereka datang dari latar belakang budaya dan bahasa yang berlainan, sehingga komunikasi yang terajdipun menggunakan bahasa yang “gado-gado”. Sesekali mereka menggunakan bahasa Indonesia, kemudian bahasa Jawa, bahasa campuran antara bahas Indonesia dengan bahasa Jawa, dan sebagainya.
Pasar Tamin merupakan salah satu pasar tradisional di Bandar Lampung memiliki identitas yang tinggi. Akibatnya interaksi antara pedangan atau penjual dan pembeli sangat intens dan kompleks. Kekomplekan interaksi pun terjadi tercermin dalam hal pemilihan dan penggunaan bahasa yang tak hanya satu bahasa atau ragam. Akibat lebih jauh digunakannya lebih dari satu bahasa atau ragam adalah munculnya fenomena alih kode dan campur kode dalam tuturan pedagang dan pembeli.
Alih kode yang terjadi pada transksi tersebut dapat dilihat berdasarkan arahnya. Dari sudut arah, alih kode dapat berupa bahas Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya. Selanjutnya dari sudut bentuk campur kode dapat berupa klausa atau kalimat, frasa atau kata. Pada gejala alih kode dari segi bentuk dapat terajadi alih bahasa atau ke alih ragam. Bisa juga terjadi dari alih ragam ke alih bahasa.
Peneilitan ini menempatkan pada salah satu ranah yaitu ranah transaksi. Dipilihnya ranah karena transaksi terjadinya pertemuan dan kontak antara masyarakat tutur dengan segala lapisan dan golongan. Ranah transaksi sebagai ranah atau domain yang didalamnya terjadi peristiwa transaksi jual beli barang dan jasa, khususnya peristiwa tawar menawar antara penjual dan pembeli (Sumarsono 1993 : 227-208).
Dengan mengacu kepada batasan di atas, dapatlah dkatakan bahwa transaksi dapat dibatasi sebagai persistiwa atau kegiatan jual-beli barang dan jasa, khususnya yang menyangkut aktivitas tawar-menawar. Luasnya jangka tawar-menawar barang dan jasa dalam peristiwa transaksi dengan segala permasalahannya tidak dibicarakan dalam tulisan ini secara tuntas, khususnya segi kebahasannya (Rahadi 1996: 8). Oleh karenanya, kegiatan tawar-menawar dalam tulisan ini dibatasi pada kegiatan tawar-menawar dalam jual beli yang terjadi di pasar Tamin. Dengan demikian batasan pembicaraan tentang alih kode dan campur kode dalam penelitian ini adalah pada wacana jual-beli di pasar Tamin, dipilihnya lokasi itu karena di situlah peristiwa tawar-menawar dalam transaksi jual-beli masih terjadi.

1.2              Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Alih kode apa saja yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin?
b.      Campur kode apa saja yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin?
c.       Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya alih kode dan campur kode di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin?
d.      Fungsi apa saja yang diperankan oleh alih kode dan campur kode di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung?

1.3              Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalahnya, penelitian ini bertujuan memaparkan:
a.       Alih kode yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung.
b.      Campur kode yang terdapat di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung.
c.       Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya alih kode dan campur kode di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung.
d.      Fungsi alih kode dan campur kode di dalam wacana interaksi pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung.

1.4              Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis dalam perkembangan linguistik umumnya dan sosiolinguistik khususnya.
a.       Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk membantu menjelaskan aspek bahasa yang tidak dapat dikaji lewat deskripsi sintaksis, morfologi, fonologi, dan semantik. Selain itu hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu bahasa khususnya bidang sosiolinguistik.

b.      Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemakai bahasa, dalam menggunakan kode-kode bahasa, sehingga dalam berkomunikasi akan lebih komunikatif, serta dapat meningkatkan pemahaman seseorang pada suatu permasalahan.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Landasan Teori
Pada penelitian ini, teori yang dijadikan sebagai dasar meliputi konsep-konsep tentang (1) Soiolinguistik, (2) Kedwibahasaan, (3) Peristiwa tutur, (4) Alih kode, (5) Campur kode.

1.      Soiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk mengetahui pengertian sosiolinguistik harus memahami makna sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Ada beberapa pendapat ahli mengenai sosiolinguistik, diantaranya:
Kridalaksana (1978: 2), menyatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungan  di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu  di dalam suatu masyarakat bahasa.
J.A. Fishman (1972: 4), menyatakan sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.

2.      Kedawibahasaan
Istilah kedwibahasaan secara harfiah berarti penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962: 12, Fishman 1975: 75). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa agar dapat menggunakan dua bahasa, seseorang harus menguasai bahasa itu. Pertama, seseorang harus menguasai bahasa ibunya (disngkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933: 56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahsa dengan sama baiknya. Namun pendapat dari ahli lain, yakni Haugen (1961) dwibahasawan tahu akan dua bahasa atau lebih, dan seorang dwibahasawan tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, cukup kalau dapat memahaminya.
Kedwibahasaann adalah peristiwa pemakaian dua atau lebih bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Sedangkan individu yang melakukan penuturan dengan memakai dua bahasa atau lebih disebut dwibahasawan. Sedangkan pada proses pemerolehannya disebut dengan pendwibahsawan.

3.      Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadi interaksi linguistik dalam suatu ujuaran atau lebih, yang melibattkan dua pihak yakni penutur dan mitra tutur dengan satubpokok tuturan dlam waktu, empat, dan situasi tertentu ( Chaer dan Agustins, 2010: 47). Dalam peristiwa tutur Hymes memaparkan komponen tuutur sebagai penentu pemakaian ragam bahasa.
Komponen tutur memiliki kaitan dengan sosiolinguistik, yakni berkenaan dengan siapa berbicara dalam bahasa apa, kepada siapa, tentang apa seperti ulasan berikut. Komponen tutur Hymes memiliki akronim SPEAKING, Yakni (1) Setting and Scene, yang berarti segalahal yang berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung. (2) Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam peraturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. (3) Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. (4) Act Sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. (5) Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan. (6) Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalurr lisan, tertulis, melalui telegram dan telfon. (7) Norm of Intercation and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi. (8) Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya. (Chaer dan Agustina, (2010: 48-49).

4.      Alih Kode
Pada dasarnya alih kode merupakan penggantian kode yang berupa bahasa atau ragam bahasa dari kode yang satu ke kode yang lain pada waktu seseorang bertutur. Menurut Kridalaksana (1984), pengertian penggantian yang dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan peran serta situasi lain. Dalam kenyataan sehari-hari, ternyata bahwa ragam bahasa lebih cenderung memakai alih kode, hal ini disebabkanoleh faktor kemudahan dalam mendeskripsi suatu peristwia tutur dengan menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa tutur.

5.      Campur Kode
Di dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahsaan. Peranan maksudnya yang menggunakan bahasa tersebut, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Seorang penutur yang banyak menguasai bahasa akan mempunyai kesempatan kode lebih banyak daripada penutur yang hanya menguasai satu atau dua bahasa saja. Tetapi tidak berarti bahwa penutur yang menguasai lebih banyak bahasa selalu banyak bercampur kode. Sebab yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan kebahasaannya.
Ciri-ciri yang lain adanya gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip didalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya menduduki satu fungsi.
Beberapa ahli sosiolinguistik yang memberi batasan campur kode antara lain (Swito 1985: 76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yanf satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Nababan (1984: 32) menyatakan bahwa campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Adapun ciri yang menonjol dalam campuran kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Misalnya ada seorang penutur yang dalam pemakaian bahas Indonesia banyak disipi unsur-unsur bahasa Jawa/daerah atau sebaliknya bahasa daerah yang disisipkan pada bahasa Indonesia. Maka seorang penutur tersebut bercampur kode ke dalam peristiwa tersebut, sehingga akan menimbulkan apa yang disebut bahasa Indonesia yang kedaerah-daerahan atau ke Jawa-Jawaan.
Campur kode memiliki dua tipe yaitu, campur kode kedalam (inner code mixing) dan campur kode luar (Outer code mixing) (Suwito, 1985: 76). Campur kode kedalam adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya. Campur kode keluar adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asing.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1     Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan maksud untuk memberikan hasil analisis data mengenai bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi jual-beli pedagang etnis Jawa. Pemerian tersebut didasarkan pada data yang diperoleh meskipun tetap melibatkan interprestasi terhadap konteks yang tersurat dan tersirat dalam data. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Karakteristik sosiolinguistik meliputi adanya variasi bahasa, komunikasi bahasa dan masyarakat, serta bahasa dan masyarakat, serta budaya dan bahasa. Pendekatan penelitian ini menitik beratkan pada kajian sosial yang mengungkapkan bentuk dan faktor campur kode dalam wacana interaksi jual-beli pedagang etnis Jawa. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, mengutip pendapat Muhadjir (1996: 29) mengisyaratkan jika data penelitian berupa kualitas bentuk-bentuk verbal yang berwujud tuturan. Tuturan yang menjadi data penelitian ini terealisasi di dalam wacana interaksi jual-beli etnis Jawa.

3.2     Data dan Sumber Data
Sasaran penelitian adalah wacana interaksi jual-beli pedagang etnis Jawa, yang diduga terdapat unsur alih kode dan campur kode yang terkandung di dalamnya berwujud wacana yang digunakan dalam tuturan interaksi jual-beli pedagang di Pasar Tamin Bandar Lampung. Korpus data berupa wacana antara lain: Wacana interaksi jual-beli buah-buahan.
Sumber data dalam penelitian ini yaitu wacana interaksi jual-beli di Pasar Tamin Bandar Lampung dengan judul berbeda-beda, hal ini dimaksudkan supaya terdapat uraian kebahasaan yang lebih lengkap dan cukup mewakili semua tuturan tersebut yang terdapat dalam alih kode dan campur kode. Korpus data berupa tuturan antara lain:
a.       Tuturan bahasa Jawa-bahasa Indonesia
b.      Tuturan bahasa Indonesia-bahasa Jawa

3.3     Teknik Pengumpulan Data
          Data penelitian ini peneliti kumpulkan dengan teknik rekaman yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan penelitian dengan cara merekam data lingual pedagang di Pasar Tamin Bandar Laampung, ke dalam  perekam suara. Pelaksanaan teknik ini adalah dengan cara memutar ulang hasil rekaman untuk ditranskripsikan, selain menggunakan teknik tersebut penulis menggunakan teknik observasi atau pengamatam, biasanya cenderung dimasukkan ke dalam tahap penjajagan atau tahap invensi (Meleong 1994: 65). Tahap penjajagan ini perlu dilakukan sebelum tahap pengambilan data. Hal ini terjadi karena pada dasarnya penelitian deskripsi baru dapat dilakukan jika populasi sudah dikenal sifat-sifatnya.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Bentuk Alih Kode
          Pada hasil penelitian ditemukan alih kode pada tuturan interaksi jual-beli dengan pedagang Pasar Tamin Bandar Lampung berikut. Konteks: Dua orang mahasiswa ingin membeli buah mangga di pasar. Sang pemuda tertarik pada salah satu jenis buah mangga, namun menginginkan buah mangga yang kecil. Maka sang mahasiswa bertanya pada pedagang adakah jenis buah mangga lain.
Kutipan 1
Erik                  : Mas eneng pelem orak?
Penjual                        : Enek pelem opo mas?
Ferli                 : Iki pelem opo wae?
Penjual                        : Iki pelem arumanis mas
Erik                  : Iki fer, adanya mangga arumanis, ini jadi berapa?
Ferli                 : Iki piroan mas
Penjual                        : Nak seng cilik 10 ewu, nak seng gede 12 ½ rb mas
Erik                  : Jadi kita mau beli yang mana, nih fer?
Ferli                 : Kalo seng cilik iku piro mas entok’e nak sekilo
Penjual                        : Nak seng cilik intok 3, nak seng gede 2
Erik                  : Yowes mas seng cilik wae
Penjual                        : Arep piro mas?
Ferli                 : Sekilo wae
Penjual                        : Yo-yo.

Dari percakapan di atas dapat dilihat bahwa ahli kode yang ada adalah dari bahsa Jawa ke dalam bahasaIndonesia yang dilakukan oleh penjual. Dari sejak awal penjual menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur yang bervariasi dan diwarnai pula dengan adanya beberapa alih tingkat tutur. Alih kode ke dalam bahasa Indonesia itu dilakukan oleh penjual dengan alasan tertentu. Dengan demikian arah alih kode dalam percakapan itu adalah dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Jawa. Alih kode yang terjadi di Pasar Tamin adalah peralihan bahasa Jawa ke dalam penggunaan bahasa Indonesia pada saat penjual-pembeli melakukan transaksi. Pada percakapan di atas memberikan informasi tentang kenaikan harga buah yang beda dari biasanya.

4.2 Bentuk Campur Kode
Wujud campur kode adalah penggunaan frasa yang menunjukkan bilangan atau angka yakni “lima belas ribu” dimana penjual memberikan informasi tentang jumlah barang yang akan dibeli. Campur kode yang terjadi pada pedagang buah-buahan, cuplikan data dan pembahasannya dikemukakan sebagai berikut:
Erik                  : Mas ini mangga berapaan?
Penjual                        : Ini yang besar 15 rb, yang kecil-kecil 12 rb dek.
Ferli                 :  Gak bisa kurang tah mas?
Penjual                        : Bisa Cuma dikit aja gak banyak-banyak
Ferli                 : Sekilo itu berapa mas isinya
Penjual                        : Kalau yang kurangin ini iya, dikurangi kalo yang besar 13 lah, 13
                          jekoken.
Erik                  : Ouw, 13
Penjual            : Iya
Erik                  : Gak isoh kurang meneh tah mas
Ferli                 : Pirolah entok’e 4
Penjual                        : Yo kurang-kurang sewulah dadine yo 12 rapopo
Erik                  : Yaudahlah mas beli sekilo aja mas
Penjual                        : Yaudah yang besar atau yang kecil
Erik                  : Yang kecil aja
Penjual                        : Ouw, yaudah sekiloan
Ferli                 : Iya, mas
Penjual                        : Yaudah ditimbang dulu
Erik                  : Yowes, suwon yo mas yo
Penjual                        : Yo, podo-podo.
Dalam percakapan kegiatan transaksi jual beli di pedagang buah-buahan di atas juga terjadi peralihan penggunaan antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Wujud campur kode yang digunakan yaitu pada kelompok frasa adjektiva-bilangan.

       4.3 Faktor-Faktor Terjadinya Alih Kode
Konteks: Dua orang mahasiswa ingin membeli buah mangga di pasar. Sang pemuda tertarik pada salah satu jenis buah mangga, namun menginginkan buah mangga yang kecil. Maka sang mahasiswa bertanya pada pedagang adakah jenis buah mangga lain.
Kutipan 1
Erik                  : Mas eneng pelem orak?
Penjual                        : Enek pelem opo mas?
Ferli                 : Iki pelem opo wae?
Penjual                        : Iki pelem arumanis mas
Erik                  : Iki fer, adanya mangga arumanis, ini jadi berapa?
Ferli                 : Iki piroan mas
Penjual                        : Nak seng cilik 10 ewu, nak seng gede 12 ½ rb mas
Erik                  : Jadi kita mau beli yang mana, nih fer?
Ferli                 : Kalo seng cilik iku piro mas entok’e nak sekilo
Penjual                        : Nak seng cilik intok 3, nak seng gede 2
Erik                  : Yowes mas seng cilik wae
Penjual                        : Arep piro mas?
Ferli                 : Sekilo wae
Penjual                        : Yo-yo.
       Percakapan di atas tampak adanya alih kode yang dilakukan oleh penjual dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Alih kode tersebut terjadi ketika sang penjual berbicara pada peayannya. Pembeli menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan pelanggan karena ingin menghormati penjaul, sedangkan penjual menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara dengan pelayannya karena status sosialnya lebih rendah dari penjual.



       4.4 Faktor Terjadinya Campur Kode
       Berdasarkan hasil pemapaparan subab bentuk campur kode dan alih kode peneliti dapat menyimpulkan faktor terjadinya campur kode adalah faktorinternal yakni seseorang meminjam kata dari bahasa lain karena dorongan yang ada dalam dirinya. Penutur menggunakan kata dari bahasa lain karena kata itu sudah sangat sering digunakan dan mudah diterima.
Ferli (Pembeli) : “ Gak bisa kurang tah mas?”
Pada kutipan ujaran di atas terdapat sisipan kata “tah” dari bahasa Lampung. Kata “tah” berarti Iya, namun penutur tidakmenggunakan kata “iya” karena dianggap terlalu formal.


BAB V
PENUTUP

5.1    Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah di sampaikan di bagian depan serta uraian yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut:
Dalam proses transaksi dan komunikasi di Pasar Tamin Bandar Lampung terjadi dua penggunaan alih kode dan campur kode. Wujud alih kode terjadi adalah peralihan penggunaan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Begitu juga dengan campur kode, penggunaan kode yang berasal dari bahasa Indonesia seringkali digunakan pembeli yang sebelumnya menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya.  Adapun faktor-faktor penentu yang mempengaruhi terjadinya alih kode dan campur kode adalah penutur, mitratutur, kehadiran penutur ketiga, latar belakang pendidikan, situasi kebahasan, dan tujuan pembicaraan. Peristiwa yang tampak ketika terjadinya alih kode dan campur kode adalah pada saat penjual dan pembeli memberikan respon satu sama lain, menjelaskan maksud dari tuturan masing-masing, dan memberikan penekanan atau penegasaan pada tuturan yang di ucapkan.

  
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosisolinguistik Pengantar Awal. Jakarta: Gramedia
Kunjana Rahardi, R. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Belajar.


      
         


No comments:

Post a Comment